Dikutip dari Sigabah.com
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum lagu dan musik menurut Islam. Sebagian di antara mereka mengharamkan, sedangkan sebagian yang lain menghalalkannya. Perbedaan di antara mereka bermuara pada perbedaan penafsiran dalil-dalil yang mendasari masing-masing pendapat.
Tulisan ini akan menyajikan dalil-dalil & argumentasi dari kedua belah pihak, untuk selanjutnya dianalisa dan dipilih yang arjah (lebih kuat).
Kelompok Pertama: Nyanyian & Musik Haram
Di antara ulama mutaqaddimin (klasik) yang mengharamkan nyanyian & musik adalah Abu Yusuf. Sedangkan di antara ulama zaman ini adalah Syekh Abdurrahman As Sa’di, Syekh Al Albani, Syekh bin Baz, Syekh al-Utsaimin, Syekh Al Fauzan, Syekh Muqbil bin Hadi.
Dalil-dalil & Argumentasi
Lagu termasuk perkataan yang tidak berguna. Allah swt. berfirman:
وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَها هُزُواً أُولئِكَ لَهُمْ عَذابٌ مُهِينٌ
“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” Q.s. Luqman: 6
Ibnu Mas’ud dalam menafsirkan ayat ini berkata, “Demi Allah yang tiada tuhan selainNya, yang dimaksudkan adalah lagu.”
Kata Syekh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin, “Penafsiran seorang sahabat merupakan hujjah dan penafsirannya berada di tingkat ketiga dalam tafsir, karena pada dasarnya tafsir itu ada tiga. Penafsiran Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an, Penafsiran Al-Qur’an dengan hadis dan ketiga Penafsiran Al-Qur’an dengan penjelasan sahabat. Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa penafsiran sahabat mempunyai hukum rafa’ (dinisbatkan kepada Nabi saw.). Namun yang benar adalah bahwa penafsiran sahabat tidak mempunyai hukum rafa’, tetapi memang merupakan pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.”
Mendengarkan musik dan lagu akan menjerumuskan kepada suatu yang diperingatkan oleh Rasulullah saw. dalam hadisnya. Dalam Shahih Al Bukhari disebutkan hadis Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari, dia mendengar Nabi saw. bersabda:
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Akan ada dari umatku kaum yang menghalalkan zina dan sutera, khamr dan alat musik.”
Kata Syekh al-Albani, “Dalam hadis tersebut alat-alat musik dikaitkan dengan khamr dari sisi keharamannya. Karena khamr mengotori jasad dan akal pikiran dan nyanyian mengotori ruh (jiwa) sehingga mabuklah seseorang karenanya. Apabila telah tergabung dalam diri seseorang kotoran jasad, akal pikiran, dan jiwa maka tercipta sebuah kejahatan yang besar yang menakutkan.”
Kata Syekh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin, “Maksudnya, menghalalkan zina, khamr, sutera padahal ia adalah lelaki yang tidak boleh menggunakan sutera, dan menghalalkan alat-alat musik. [Hadis riwayat al-Bukhari dari hadis Abu Malik Al-Asy’ari atau Abu Amir Al-Asy’ari]” [Disalin dari Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah]
Menjelaskan hadis tersebut, Ibnul Qayyim berkata, “Dari sisi pendalilan dari hadis ini bahwa alat musik ini adalah alat-alat yang melalaikan semuanya, tidak ada perselisihan di antara ahli bahasa tentang hal itu. Andaikata nyanyian itu halal maka Rasulullah saw. tidak akan mencela orang yang menghalalkannya dan tidak pula menyamakannya dengan orang yang menghalalkan khamr. Al Harru mempunyai makna penghalalan kemaluan yang sebenarnya diharamkan. Sedangkan al khazzu adalah sejenis sutera yang tidak dipakai oleh para shahabat (karena al khazzu ada dua macam, yang terbuat dari sutera dan dari bulu domba). Hadis ini telah diriwayatkan dengan dua bentuk.” (Lihat, Ighaatsatul Lahfan I:291)
Allah swt. berfirman :
وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqan : 72)
Kata Syekh al-Albani, “Sebagaimana yang ditafsirkan oleh Muhammad bin Al Hanafiyah, Mujahid, dan Ibnul Qayyim rahimahullah, makna az-zuur dalam ayat ini adalah nyanyian.”
Allah Swt. berfirman:
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلا تَبْكُونَ وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ
“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini dan kamu mentertawakan dan tidak menangis sedang kamu melengahkan(nya).” (QS. An Najm : 59-61)
Kata Syekh al-Albani, “Ibnu Abbas menjelaskan bahwa as samuud adalah nyanyian, dari bahasa Himyar (nama satu kabilah di Arab). Dikatakan samada lanaa, berarti menyanyi untuk kami. Dalam Ash Shihhah disebutkan bahwa as samuud adalah al lahwu (nyanyian) dan as samiid adalah al lahiy (orang yang bernyanyi). Dikatakan pada Luqainah asmidiina berarti lalaikanlah kami dengan nyanyian. Ibnul Jauzi menyebutkan arti as samuud itu ada 5, yaitu al lahwu (lalai), al i’raadh (berpaling), al ghinaa’ (nyanyian), al ghiflah (lupa), dan al asyir wal bathr (sombong). (Lihat, Zaadul Muyassar, VIII:86). Aku berkata, “siapa yang mencermati masalah ini maka ia akan mendapatkannya dalam nyanyian karena bisa memalingkan kita dari Allah serta menimbulkan kelalaian, kesombongan, dan takabur.”
Berdasarkan keterangan di atas jelas bahwa Alquran mengharamkan musik sehingga yang melakukannya akan mendapat azab yang menghinakan.
Kelompok ini memperkuat argumentasi mereka dengan mengemukakan hadis-hadis Nabi yang menunjukkan pengharaman secara jelas (sharih) terhadap berbagai macam alat hiburan dan musik. (lihat, analisa pada akhir pembahasan).
Kelompok Kedua: Nyanyian & Musik Mubah
Di antara ulama mutaqaddimin yang menghalalkan nyanyian adalah Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu’bah, Usamah bin Zaid, Imran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali, dan Ibnu Hazm. Sedangkan di antara ulama zaman ini adalah Syekh Muhamad al-Ghazali & Syekh Yusuf al-Qardhawi.
Meskipun demikian mereka menetapkan bahwa kehalalan itu akan berubah menjadi haram li amrin kharij (faktor lain), antara lain:
jika berisi syair-syair kotor, jorok dan cabul.
jika disertai kemungkaran, seperti sambil minum khomr, berjudi, dan lainnya.
jika menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita atau sebaliknya.
jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat atau menunda-nundanya.
Dalil-dalil & Argumentasi
Pertama, Tafsir Surat Luqman:6
Kata Lahwa al-Hadits tidak dapat diartikan dengan nyanyian. Seandainya kata tersebut memang diartikan “nyanyian”, maka yang dikecam oleh Allah taala melalui ayat tersebut adalah kata-kata dimaksud digunakan sebagai alat untuk menyesatkan manusia. Jadi, bukan terletak pada nyanyian atau bukan nyanyian.
Ibnu Hazm mengatakan, “Apabila Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud menafsirkan kata lahwa al-hadits dengan makna nyanyian, maka sesungguhnya teks ayat itu sendiri-dalam hal ini li yudilla ’an sabilillah (untuk menyesatkan dari jalan Allah) telah menentang penafsiran tersebut.”
Sebab, kata Ibnu Hazm, lahwa al-hadits yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah lahwa al-hadits yang jika dilakukan akan mengakibatkan kekafiran bagi pelakunya. Misalnya, seorang membeli mushaf dengan tujuan untuk menyesatkan orang lain dan memperolok-olok serta mempermainkannya, maka tentu yang bersangkutan akan tergolong orang-orang yang kafir dan Lahwa Al-Hadits semacam inilah yang dikecam oleh ayat tersebut. Adapun Lahwa Al-Hadits yang tidak bermaksud menyesatkan orang lain dan memperolok-olok, tetapi untuk menghibur diri tentu tidak dikecam oleh ayat tersebut. Artinya, ayat itu tidak ditujukan kepada orang-orang yang menghibur diri tanpa bermaksud menyesatkan manusia lainnya dari ajaran Allah taala. Adapun orang yang tidak melalaikan kewajiban agamanya sekalipun dia sibuk menyanyi, orang dimaksud tetap sebagai orang yang baik (muhsin).
Ibnu Hazm telah membantah mereka yang menggunakan surat Lukman ayat 6 ini sebagai dasar pengharaman musik. Beliau berkata, “Nash ayat tersebut membatalkan argumentasi–argumentasi mereka sendiri, karena dalam ayat tersebut “Dan diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan” Ini menunjukkan bahwa yang melakukannya adalah orang kafir, tanpa ikhtilaf jika menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan. Inilah yang dicela oleh Allah. Sedangkan orang yang menggunakan perkataan yang sia-sia untuk tujuan hiburan atau menenangkan dirinya bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tidaklah dicela. Maka terbantahlah pendapat mereka dengan perkataan mereka sendiri. Bahkan jika seseorang melalaikan shalat dengan sengaja dikarenakan bacaan Al Quran atau membaca hadis atau dengan obrolan dan lagu sama saja termasuk kefasikan dan dosa kepada Allah. Tetapi siapa yang tidak melalaikan kewajiban sebagaimana yang kami sebutkan maka tetap merupakan kebaikan.” (Lihat, Al Muhalla, IX:10)
Dilihat dari konteks turunnya, surat Luqman:6 sebenarnya ditujukan buat orang-orang kafir. Ini dapat dilihat dari kelanjutan ayat tersebut Luqman:7. Pada Luqman:6 disebutkan: “Dan diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” QS Luqman:6. Selanjutnya pada Luqman: 7 disebutkan: “Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia tidak mendengarnya. Seakan-akan ada penghalang di kedua telinganya, maka berikan kabar gembira padanya dengan azab yang pedih.”
Jelas sekali bahwa yang berpaling dengan menyombongkan diri ketika dibacakan ayat-ayat Allah adalah orang kafir.
Ibnu Jarir At Thabary menegaskan dari riwayat Ibnu Wahab, ia berkata, “Ibnu Zaid mengatakan bahwa (Luqman: 6) ‘Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna’ maksudnya adalah orang-orang kafir. (Lihat, Tafsir Ath Thabary, I:41, tafsir surah Luqman)
Pendapat ini juga dikemukakan Ibnu Athiyyah yang mengatakan bahwa yang rajih atau lebih kuat adalah ayat yang diturunkan tentang lahwul hadits ini untuk orang-orang kafir, karenanya ungkapan tersebut sangat keras yaitu “untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa pengetahuan dengan menggunakannya sebagai olok-olokan” dan disertai dengan ancaman siksaan yang sangat hina. (Lihat, Tafsir Ibnu Athiyyah, XI: 484)
Kesimpulan surat Luqman ayat 6 adalah lebih tepat ditujukan untuk orang-orang kafir yang ingin menyesatkan manusia dari jalan Allah dengan perkataan yang tidak berguna. Jadi Ayat ini tidak benar dijadikan dasar pengharaman musik dan lagu.
Kedua, Tafsir Surat An-Najm, ayat 59-61
Kata Saamidun diartikan sebagai “dalam keadaan menyanyi-nyanyi”, tidak disepakati oleh ulama tafsir, karena kata tersebut sekalipun digunakan oleh suku Humyar (suku bangsa Arab) dalam arti menyanyi, tetapi di dalam kamus-kamus bahasa Arab seperti Mu’jam Al-Maqayis Fi Al-Lugah dijelaskan bahwa akar kata Saamidun adalah samada yang maknanya berkisar pada “berjalan bersungguh-sungguh tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan”, atau secara majaz (kiasan) dapat diartikan “serius” atau “tidak mengindahkan selain apa yang dihadapinya.”
Dengan demikian, kata saamidun, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir, dalam ayat tersebut dapat diartikan “orang yang lengah” (Ghafilun).
Adapun hadis Abu Amir atau Abu Malik Al-Asyjari, yang artinya, “Sesungguhnya akan terdapat dalam umatku orang-orang yang menghalalkan zina, sutera, khamar, judi, dan musik; semua yang memabukkan hukumnya haram.” HR Al-Bukhari
Matan (teks hadis) tersebut menjelaskan bahwa azab diturunkan karena mereka menghalalkan zina, minuman keras, menghalalkan sutera dan membolehkan tampilnya biduanita di depan forum yang bercampur laki-laki dan perempuan serta menghalalkan penggunaan alat musik di luar batas-batas yang dibenarkan agama. Jadi bukan semata-mata nyanyian yang mengakibatkan turunnya azab tersebut.
Berkata Al-Fakihani, “Aku tidak ketahui dalam kitab Allah dan tidak pula dalam Sunnah satu hadis sahih yang jelas dalam pengharaman alat hiburan. Sesungguhnya semuanya hanya bersifat umum dan bukan dalil Qat`iy.”
Dr Wahbah Az-Zuhaili berpendapat, “Sesungguhnya lagu-lagu patriotik atau yang mendorong pada kebaikan atau jihad (perjuangan), tiada halangan (haram) baginya dengan syarat tiada percampuran bebas dan menutup aurat wanita kecuali muka dan tapak tangan. Adapun lagu-lagu yang mendorong pada kejahatan, tidak syak akan pengharamannya, hatta di kalangan mereka yang mengharuskan nyanyian, khususnya kemunkaran di radio dan TV yang banyak terdapat di zaman kita hari ini.” (Bersambung)
By Amin Muchtar, sigabah.com
DIkutip dari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar